PENERBITAN MAHASISWA, SEBAGAI UPAYA DALAM MENCIPTAKAN EKONOMI KREATIF

PENERBITAN MAHASISWA,
SEBAGAI UPAYA DALAM MENCIPTAKAN EKONOMI KREATIF*)
Oleh Imron Supriyadi**)

A. BACKGROUND
Fenomena pengangguran dan kemiskinan seakan tak kunjung henti. Bukan saja di daerah, melainkan sudah menjadi persoalan nasional, yang berdasa warsa. Kemiskinan dan pengangguran, merupakan dua realitas yang keduanya muncul hampir selalu bersamaan. Tetapi pertanyaannya adalah; kemiskinan yang kemudian mengakibatkan pengangguran, atau pengangguran yang menimbulkan kemiskinan. Agak sulit menjawabnya. Sebab keduanya sering muncul seperti pantun bersahut. Di satu pihak, keluarga menjadi miskin karena anggota keluarganya menganggur, dan di pihak lain, orang menganggur akibat lahir dari keluarga miskin dan tak mempunyai kesempatan mengeyam pendidikan yang layak.

Terlepas dari perdebatan itu, ada beberapa hal yang kemudian secara sadar atau tidak, telah menimbulkan pengangguran. Pertama, disebabkan proses industrialisasi dan modernisasi. Proses ini acap kali berakibat pada proyek penggusuran besar-besaran terhadap sebuah komunitas, baik yang berada di desa, atau juga di pinggiran kota. Akibat langsung yang muncul kemudian adalah, ribuan kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian. Kenapa? Karena tanah mereka diserobot sebuah perusahaan besar, atau memang sengaja “dipaksa” harus dijual karena ada tekanan dari sebuah otoritas daerah.

Realitas ini sebagai bukti nyata, bahwa industrialisasi dan modernisasi juga turut memberi andil dalam menciptakan kesenjangan sosial. Betapa tidak? Perluasan wilayah pembangunan fisik, sebut saja Pabrik Minyak, Tambang Batubara, Mall, Hyermarket, Hotel dan pusat-pusat pembelajaan besar lainnya, secara langsung atau tidak telah mencerabut “wilayah kerja” pedagang kecil (PK-5), yang sebelumnya dapat menghidupi masyarakat sekitar. Logikanya, dengan perkembangan zaman dan modernisasi, seharusnya masyarakat sekitar yang notabene pemilik wilayah, taraf hidupnya makin meningkat bukan malah sebaliknya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, penduduk asli, justeru tergusur di pinggir-pinggir kota tanpa daya. Sementara, mercusuar di tengah kota terus menancapkan taring-taringnya untuk melakukan perluasan bisnisnya.

Kedua, proses Urbanisasi. Penyebab kemiskinan dan pengangguran yang kedua ini, sebenarnya sebagai akibat dari proses industrialisasi dan modernisasi. Karena mereka tidak dapat mengimbangi ketatnya persaingan dalam penguasaan teknologi di beberapa perusahaan, yang memperluas jaringan kerjanya di kawasan pedesaan, sebagian masyarakat kemudian “berlari” menuju ke ke kota-kota besar, dengan harapan mereka dapat hidup lebih layak. Tetapi toh apa yang kemudian terjadi, proses Urbanisasi dari desa ke kota ini justeru berbalik arah. Hidup kaum urban tidak semakin baik, melainkan persoalan sosial di kota-kota besar makin bertambah. Akan bagaimana nasib seseorang jika pergi ke kota tanpa dibekali dengan skill atau keahlian tertentu dan hanya dengan modal nekad?. Bagaimana akan mendapat hidup layak, jika untuk menghidupi dirinya sendiri belum mampu. Ini juga menjadi salah satu penyebab, kenapa jumlah pengangguran dan kemiskinan bertambah.

Ketiga, sistem di Pergurajn Tinggi. Persoalan lain yang menjadi “mesin cetak” pengangguran, adalah Perguruan Tinggi. Bagaimana tidak? Dalam setiap tahun, berapa ratus sarjana diwisuda, tanpa mengetahui akan menjadi apa mereka setelah mendapat Ijazah. Dari kasus seperti inilah, sering muncul seloroh, STTB bukan Surat Tanda Tamat Belajar, tetapi menjadi Sudah Tamat Tambah Binggung, sama persis seperti nasib sarjana yang baru saja diwisuda kemudian binggung mencari kerja.

Kondisi kronis yang melanda para alumnus Perguruan Tinggi (PT) ini, bukan baru terjadi satu atau dua bulan terakhir, melainkan sudah menyejarah. Dari rezim Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kurikulum di PT memang tidak praktis aplikatif, atau tidak mendorong mahasiswa dan alumninya, dapat mencipta lapangan kerja, melainkan dididik untuk mencari lapangan kerja. Jika ini yang terjadi, maka jelas PT juga turut menyumbangkan jumlah pengangguran di negeri ini.

B. SEKILAS CATATAN PENGANGGURAN
Situasi meningkatnya jumlah keluarga miskin dan pengangguran inilah, baik pengangguran intelektual atau pegangguran murni, yang kemudian menggelitik beberapa pengamat untuk kemudian mengritisi program masa lalu, yang menurutnya harus direvisi ulang. Tentu tidak harus membuang, namun harus ada semacam evaluasi untuk menjawab, mengapa program pengentasan kemiskinan dan pengangguran sebelumnya ini tidak berjalan secara efektif. Pun demikian halnya, mengapa Perguruan Tinggi yang menjadi embrio dalam membangun mentalitas enterpreuner dan mendorong terciptanya ekonomi kreatif tidak juga bergeming dari sistem yang cenderung akademis murni? Akibatnya, para alumnus di berbagai perguruan tinggi, lebih memilih menjadi ‘penunggu’ dibukanya lapangan kerja, dan bukan malah berupaya membuka lapangan kerja sendiri, dengan menggali potensi kreatifitas yang ada dalam dirinya.

Fenomena kebingungan para alumnus Perguruan Tinggi dalam menggali potensi dirinya, sebagai akibat indoktrisasi mata kuliah di kampus-kampus, yang cenderung sistemik dan formalistis. Hampir dapat dikatakan, sebagian dosen benar-benar menjadi pengajar, dan bukan menjadi pendidik, yang dapat membuka wacana pikir terhadap mahasiswa, tentang bagaimana seharusnya menjadi alumnus yang bisa berdikari setelah mereka selesai dari bangku kuliah.

Bila kita menyimak sekilas jumlah pengagguran, hati kita patut prihatin. Data Bank Dunia (Word Bank) menyebutkan tentang jumlah masyarakat miskin dan jumlah pengangguran di Indonesia, khususnya di Sumsel. Sebagaimana dilansir media, dua tahun lalu (2005) data Bank Dunia menyebutkan, jumlah orang miskin di negeri ini, sebanyak 110 juta jiwa. Sementara jumlah pengangguran mencapai 40 juta lebih. Di Sumsel tahun 2005 ada sekitar 1, 3 juta atau 21 persen penduduk miskin dan pada tahun 2007 sudah bertambah 10 persen, bahkan bila diteliti ulang jumlah ini bisa lebih besar. Sementara jumlah pengangguran tidak kentara ; (disquesed unemployment), dan setengah pengangguran dan pengangguran bentuk lain, juga belum terdata secara akurat, termasuk di dalamnya para alumni Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan, yang hingga saat ini juga masih menjadi bagian pengangguran intelektual.

C. PENERBITAN MAHASISWA ALTERNATIF SOLUSI
Menyimak realitas tersebut, sepertinya memang perlu melakukan evaluasi dan menyolusi terhadap upaya pengurangan jumlah keluarga miskin dan pengangguran, terutama para pegangguran intelektual, yang notabene produk dari intitusi pendidikan di perguruan tinggi.

Pemberdayaan Penerbitan Mahasiswa
Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM), bisa menjadi embrio lahirnya para penulis dan jurnalis muda, yang dalam kurun waktu 10 tahun mendatang karyanya dapat bersejajar dengan para penulis lain di Indonesia. Pernyataan ini sama sekali bukan sebatas utopia atau hayalan belaka. Namun ini sudah menjadi fakta sejarah, betapa Penerbitan Mahasiswa telah banyak memberi kontribusi terhadap upaya pengurangan pengangguran dengan menciptakan ekonomi kreatif bagi para alumnus-nya. Intinya, melalui penerbitan mahasiswa, sudah melahirkan kader-kader penulis dan jurnalis (wartawan), yang kini dapat dilihat buktinya. Harian Umum Sriwjaya Post, Sumatera Ekspres, Berita Pagi, Radio Trijaya, Radio Smart FM, dan institusi pers di kota-kota besar lainnya, hampir 40-50 persen didominasi oleh alumnus Perguruan Tinggi, yang sebelumnya mereka juga digodok dan diasah kreatifitasnya di Lembaga Penerbitan Mahasiswa.

Penerbitan Mahasiswa, selain telah melahirkan wartawan, Penerbitan Mahasiswa juga telah melahirkan penulis-penulis muda, yang dengan karyanya mereka bisa hidup tanpa harus menggantungkan dengan lamaran pegawai negeri sipil, atau harus menunggu sampai berdasa warsa diterimanya sebagai karyawan perusahaan tertentu. Melamar pekerjaan sambil menunggu jawaban dari intitusi yang dituju memang bukan satu dosa. Tetapi berdiam diri tanpa ada upaya menggali potensi untuk terus berdikari di kaki sendiri, merupakan sikap yang kontra produktif dengan cita-cita sebuah Perguran Tinggi, sebagai ‘mesin cetak’ para intelektual muda. Menunggu tanpa menggali potensi diri, sama saja mengingkari fitrah manusia, yang telah tercipta dengan jutaan potensi dan dalam bentuk yang sempurna. (fii ahsani taqwiim).

Melalui Penerbitan Mahasiswa, akan membuka lapangan pekerjaan baru, khususnya bagi aktifis pers mahasiswa yaang sadar dengan potensi itu. Hampir bisa dikatakan, semua kampus perguruan tinggi memiliki para pakar pendidikan yang bukan saja S.2, tetapi S3 atau bahkan profesor. Dari sini kita kemudian muncul pertanyaan? Bagaimana karya para profesor ini bisa dijadikan sebagai upaya dalam menciptakan ekonomi kreatif bagi para mahasiswa dan para alumnus, yang mungkin saat ini masih belum mendapat pekerjaan?
Jawabnya sangat sederhana. Kita mau memulai atau tidak. Jumlah tulisan para profesor, bisa kita kumpulkan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Untuk kemudian penerbitan mahasiswa bisa melakukan kerjasama dengan penerbit, atau bahkan diterbitkan sendiri. Untuk kemudian, kumpulan tulisan para profesor itu akan menjadi sebuah buku ilmiah, yang layak jual berstandar nasional, dengan dilengkapi Indeks Standar Book Number (ISBN).

Selain karya ilmiah dari para profesor, Penerbitan Mahasiswa juga bisa menjadi fasilitator dalam pengumpulan teks khutbah Jumat dari para khotib, yang teks khutbahnya ditulis sendiri. Yang menjadi ironis adalah, sebagian diantara kita (terutama alumnus IAIN) hampir mayoritas lebih memilih membaca teks khutbah orang lain, dari pada harus menulis dan membuat analisa sendiri . Padahal, teks khutbah Jumat merupakan potensi besar untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Jika kita hitung secara matematik, dalam satu tahun, dari setiap masjid bisa menghasilkan 48 judul khutbah Jumat. Dari 48 judul ini, bila dibuat buku kumpulan Khutbah Jumat bisa dibuat dua atau bahkan tiga buku. Kalau satu masjid saja bisa menghasilkan 48 judul, lalu bagaimama jika penerbitan mahasiswa juga mengelola dan mengumpulkan teks khutbah Jumat dari 10 masjid? Akan berapa banyak buku kumpulan khutbah Jumat yang diterbitkan oleh penerbitan mahasiswa di kampus IAIN? Sungguh! Ini adalah sebuah potensi besar yang selama ini mungkin kita abaikan.

Dari konteks ini, ada sebuah pertanyaan? Dari mana para penggiat penerbitan mahasiswa mendapat keuntungan? Sudah menjadi hukum alam. Setiap penerbitan buku, jelas akan melibatkan banyak pihak. Sejak dari pengumpul naskah, desain sampul / tenaga grafis-tata letak (lay out) atau bahkan editor? Semua itu adalah peluang bagi para mahasiswa dan alumnus untuk mencoba bangkit dan berdiri di kaki sendiri, dengan menciptakan ekonomi kreatif melalui penerbitan mahasiswa. Bila ini bisa dilakukan, siapapun yang baru saja menyelesaikan kuliah dari perguruan tinggi, tidak pernah akan bingung mencari peluang kerja. Atau bagi para dosen, tidak harus pusing menjual diktat dan tawar menawar nilai kepada mahasiswa, untuk sekedar mencari tambahan, diluar gaji bulanan. Kenapa? Sebab, peluang kerja itu sebenarnya sudah sedemikian luas dibentangkan oleh sang pemilik bumi, Allah Robul Jaliil. Hanya saja sebagian diantara kita tidak sesering mungkin memutar otak dengan menciptakan kreatifitas kerja, yang sebenarnya menjadi bagian dari ke-khalifahan manusia itu sendiri.

Keuntungan Material & Immaterial
Sangat jelas. Dengan munculnya banyak penerbitan yang dilahirkan dari kampus ini, minimal akan mendapat dua keuntungan, material dan immaterial. Secara material, sang penulis akan mendapat royalti sekecil-kecilnya, minimal 12, 5 persen dari penjualan satu buku. Editor, pengumpul naskah, tim kreatif, desain sampul juga akan mendapat royalti 5, 5 persen dari hasil penjualan buku. Jumlah keuntungan ini hanya diambil dari data umum yang sudah diberlakukan di beberapa penerbit. Keuntungan ini baru diambil dari hasil penjualan satu buku. Jauh lebih besar dari itu, sebuah penerbitan mahasiswa bisa menjalin kerjasama dengan institusi lain, seperti PT. Pusri, PT. Pertamina atau PT. Tambang Batubara, atau dengan lembaga lain yang konsen terhadap upaya pencerdasan bangsa melalui penerbitan buku. Dari lembaga-lembaga donor inilah, diluar keuntungan dari hasil penjualan buku, semua tim kreatif yang turut menyusun penerbitan sudah pasti akan mendapat tambahan insentif secara profesional.

Keuntungan immaterial. Kampus Perguruan Tinggi, sebagai institusi yang ikut menerbitkan buku, secara perlahan nilai jualnya akan muncul dipermukaan. Dengan sendirinya, penerbitan mahasiswa--sekaligus akan menaikkan posisi tawar sebuah perguruan tinggi di mata publik. Sebab satu hal yang sering terlupa, ukuran atau standar kualitas intelektual sebuah perguruan tinggi, adalah bagaimana, dan berapa banyak penerbitan karya ilmiah yang sudah diterbitkan? Tentu pertanyaan ini sekaligus menjadi pekerjaan rumah perguruan tinggi, atau bagi penerbitan mahasiswa, yang bukan hanya konsen untuk menerbitkan majalah, tetapi lebih dari itu bisa membantu proses dinamisasi intelektual di kalangan mahasiswa, dosen dan seluruh civitas akademika.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini, sudah tentu memerlukan kerjasama. Bukan sama-sama kerja. Sekali lagi, yang dibutuhkan kerjasama bukan sama-sama kerja. Intitusi perguruan tinggi, sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam mengalokasikan dana bagi setiap UKM dan UKK, perlu ada sharing antar penerbitan mahasiswa dan dengan pihak lain yang bisa diajak kerjasama..

Penerbitan mahasiswa, sebagai lembaga yang konsen dalam penerbitan juga menyusun Rancangan Anggaran Biaya (RAB), dalam setiap tahun, baik anggaran penerbitan majalah secara berkala, atau penerbitan buku bagi para dosen. Pentingnya hal ini, akan memudahkan Perguruan Tinggi untuk mengalokasikan dana rutin bagi setiap UKM dan UKK. Namun demikian, Lembaga Penerbitan Mahasiswa tidak serta merta harus tergantung dengan Perguraun Tinggi. Sebab, media (majalah, koran, bulettin), yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan mahasiswa, merupakan potensi besar untuk menggali keuntungan iklan sebanyak-banyaknya. Tentu, tanpa harus meninggalkan pesan moral dan muatan intelektual.

Mengapa ini penting? Sebab, menggantungkan penerbitan hanya dengan anggaran dana perguruan tinggi, maka sebuah Lembaga Penerbitan Mahasiswa, atau penerbitan lain yang ada di dalam kampus, seperti pusat penelitian dan sejenisnya, hanya akan menjadi gudang tesis, desertasi, majalah berkala, yang sama sekali tidak akan memiliki nilai jual. Padahal, jika semua itu digarap dan diolah sedemikain rupa, bukan tidak mungkin institusi perguruan tinggi, seperti IAIN Raden Fatah, akan memunculkan badan usaha baru, yang bergerak dalam penerbitan buku. Kalau satu buah buku saja masing-masing tim kerja mendapat keuntungan materi? Bagaimana jika penerbitan mahasiswa ini juga diberdayakan sebagai lembaga penerbit buku yang secara periodik menerbitkan karya ilmiah yang layak jual di pasaran? Kalkulasi sederhana, seorang editor buku dalam satu bulannya bisa menghasilkan Rp. 10 juta per bulan dari hasil jerih payahnya. Bagaimana dengan para penulisnya? Tentu jauh lebih besar dari itu. Apakah ini bisa dilakukan? Persoalannya adalah, tinggal kita : mau atau tidak?!

Kapan akan memulai?
Upaya menciptakan ekonomi kreatif yang sering digulirkan Presiden SBY ini, sebenarnya bisa dilakukan jauh sebelum forum ini diselenggarakan. Masalahnya kemudian adalah, kita sering berpikir pragmatis. Hari ini menulis, hari ini juga harus mendapat uang. Logika seperti ini, hanya akan layak diterapkan bagi jual beli buah-buah-an atau jual beli ikan asin. Sementara, menjual buku, menjual karya ilmiah membutuhakn energi, strategi dan waktu yang cukup panjang. Bagi dunia bisnis penerbitan, bukan hari ini untuk hari ini, tetapi hari ini untuk seumur hidup. Sebab, karya ilmiah dalam bentuk buku, bukan hanya generasi terkini saja yang dapat menikmati dan membeli. Tetapi sepanjang sejarah dan putaran waktu, bila karya kita bermanfaat bagi orang banyak, maka sudah pasti bau harum karya itu akan tetap abadi walau kita sudah berkalang tanah. Masalahnya kemudian, kapan kita akan memulai, untuk mengusir musuh besar kita yang bernama kemalasan? Jawabnya ada dalam diri kita masing-masing. (*)

BIODATA SINGKAT

IMRON SUPRIYADI. Lahir di Magelang, Jawa Tengah 18 Mei 1973. Selama 12 tahun tinggal di Palembang. Alumnus Fak. Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang 1998. Atif menulis sejak tahun 1993 sejak bergabung di Majalah Ukhuwah IAIN RF. Kolom, Cerpen, Essay, Opini pernah dimuat di beberapa media di Palembang dan media ibu kota Jakarta dan cyber sastra : www.ceritanet.com. Sekarang mengelola Yayasan Pendidikan Islam dan Majalah Anak Seolah “Bintang Pelajar” di Muara Enim—kerjasama dengan Yayasan Keluarga Besar Bukit Asam (YAKASABA) dan Penerbit CV. Tunas Gemilang Palembang. Atifitas lain, mengelola Teater di Tanjung Enim. Sekarang sedang persiapan menggarap film pendidikan durasi 30 menit dengan judul “Sekolah di Di Dalam WC” kerjasama BS Studio dan Batu Hitam Production di Tanjung Enim.

Karya Buku : (Sebagian masih dalam proses editing penerbit)

1. Kumpulan Cerpen “Sedang Tuhan Pun Bisa Mati” (Tenggala Press : 2003)
2. Kumpulan Cerpen “Ketika Iblis Membentangkan Sajadah” (Batuhitam Press : 2004)
3. Novel “Ustdaz di Kampung Maling” (Tunas Gemilang : 2006-2007).
4. Novel “Jilbab Tak Bertuhan” (Tunas Gemilang : 2006)
5. Jurnal “Nikmatnya Mengurus Masjid” (La-Tansa-PTBA – proses editing)
6. Remaja Masjid, tanggung Jawab Siapa? (YNI Press-proses editing)
7. “Islam dan Anak Jalanan” (diolah dari Skripsi - Tunas Gemilang : 2006)
8. Jurnal Khutbah Jumat “Menuju Masyarakat Madani” (PTBA – proses editing)
9. Menjadi Kaya dari Menulis (Tunas Gemilang : 2007)
10. Belajar Jurnalistik itu Gampang (Amik Rama : 2007)
11. Dan lain-lain dalam bentuk naskah Drama, Film dan Sinetron.

**) Disampaikan pada acara Pelantikan LPM Ukhuwah IAIN, 20 Januari 2008 di Aditorium IAIN RF Palembang.
.

PENERBITAN MAHASISWA,
SEBAGAI UPAYA DALAM MENCIPTAKAN EKONOMI KREATIF*)
Oleh Imron Supriyadi**)

A. BACKGROUND
Fenomena pengangguran dan kemiskinan seakan tak kunjung henti. Bukan saja di daerah, melainkan sudah menjadi persoalan nasional, yang berdasa warsa. Kemiskinan dan pengangguran, merupakan dua realitas yang keduanya muncul hampir selalu bersamaan. Tetapi pertanyaannya adalah; kemiskinan yang kemudian mengakibatkan pengangguran, atau pengangguran yang menimbulkan kemiskinan. Agak sulit menjawabnya. Sebab keduanya sering muncul seperti pantun bersahut. Di satu pihak, keluarga menjadi miskin karena anggota keluarganya menganggur, dan di pihak lain, orang menganggur akibat lahir dari keluarga miskin dan tak mempunyai kesempatan mengeyam pendidikan yang layak.

Terlepas dari perdebatan itu, ada beberapa hal yang kemudian secara sadar atau tidak, telah menimbulkan pengangguran. Pertama, disebabkan proses industrialisasi dan modernisasi. Proses ini acap kali berakibat pada proyek penggusuran besar-besaran terhadap sebuah komunitas, baik yang berada di desa, atau juga di pinggiran kota. Akibat langsung yang muncul kemudian adalah, ribuan kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian. Kenapa? Karena tanah mereka diserobot sebuah perusahaan besar, atau memang sengaja “dipaksa” harus dijual karena ada tekanan dari sebuah otoritas daerah.

Realitas ini sebagai bukti nyata, bahwa industrialisasi dan modernisasi juga turut memberi andil dalam menciptakan kesenjangan sosial. Betapa tidak? Perluasan wilayah pembangunan fisik, sebut saja Pabrik Minyak, Tambang Batubara, Mall, Hyermarket, Hotel dan pusat-pusat pembelajaan besar lainnya, secara langsung atau tidak telah mencerabut “wilayah kerja” pedagang kecil (PK-5), yang sebelumnya dapat menghidupi masyarakat sekitar. Logikanya, dengan perkembangan zaman dan modernisasi, seharusnya masyarakat sekitar yang notabene pemilik wilayah, taraf hidupnya makin meningkat bukan malah sebaliknya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, penduduk asli, justeru tergusur di pinggir-pinggir kota tanpa daya. Sementara, mercusuar di tengah kota terus menancapkan taring-taringnya untuk melakukan perluasan bisnisnya.

Kedua, proses Urbanisasi. Penyebab kemiskinan dan pengangguran yang kedua ini, sebenarnya sebagai akibat dari proses industrialisasi dan modernisasi. Karena mereka tidak dapat mengimbangi ketatnya persaingan dalam penguasaan teknologi di beberapa perusahaan, yang memperluas jaringan kerjanya di kawasan pedesaan, sebagian masyarakat kemudian “berlari” menuju ke ke kota-kota besar, dengan harapan mereka dapat hidup lebih layak. Tetapi toh apa yang kemudian terjadi, proses Urbanisasi dari desa ke kota ini justeru berbalik arah. Hidup kaum urban tidak semakin baik, melainkan persoalan sosial di kota-kota besar makin bertambah. Akan bagaimana nasib seseorang jika pergi ke kota tanpa dibekali dengan skill atau keahlian tertentu dan hanya dengan modal nekad?. Bagaimana akan mendapat hidup layak, jika untuk menghidupi dirinya sendiri belum mampu. Ini juga menjadi salah satu penyebab, kenapa jumlah pengangguran dan kemiskinan bertambah.

Ketiga, sistem di Pergurajn Tinggi. Persoalan lain yang menjadi “mesin cetak” pengangguran, adalah Perguruan Tinggi. Bagaimana tidak? Dalam setiap tahun, berapa ratus sarjana diwisuda, tanpa mengetahui akan menjadi apa mereka setelah mendapat Ijazah. Dari kasus seperti inilah, sering muncul seloroh, STTB bukan Surat Tanda Tamat Belajar, tetapi menjadi Sudah Tamat Tambah Binggung, sama persis seperti nasib sarjana yang baru saja diwisuda kemudian binggung mencari kerja.

Kondisi kronis yang melanda para alumnus Perguruan Tinggi (PT) ini, bukan baru terjadi satu atau dua bulan terakhir, melainkan sudah menyejarah. Dari rezim Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kurikulum di PT memang tidak praktis aplikatif, atau tidak mendorong mahasiswa dan alumninya, dapat mencipta lapangan kerja, melainkan dididik untuk mencari lapangan kerja. Jika ini yang terjadi, maka jelas PT juga turut menyumbangkan jumlah pengangguran di negeri ini.

B. SEKILAS CATATAN PENGANGGURAN
Situasi meningkatnya jumlah keluarga miskin dan pengangguran inilah, baik pengangguran intelektual atau pegangguran murni, yang kemudian menggelitik beberapa pengamat untuk kemudian mengritisi program masa lalu, yang menurutnya harus direvisi ulang. Tentu tidak harus membuang, namun harus ada semacam evaluasi untuk menjawab, mengapa program pengentasan kemiskinan dan pengangguran sebelumnya ini tidak berjalan secara efektif. Pun demikian halnya, mengapa Perguruan Tinggi yang menjadi embrio dalam membangun mentalitas enterpreuner dan mendorong terciptanya ekonomi kreatif tidak juga bergeming dari sistem yang cenderung akademis murni? Akibatnya, para alumnus di berbagai perguruan tinggi, lebih memilih menjadi ‘penunggu’ dibukanya lapangan kerja, dan bukan malah berupaya membuka lapangan kerja sendiri, dengan menggali potensi kreatifitas yang ada dalam dirinya.

Fenomena kebingungan para alumnus Perguruan Tinggi dalam menggali potensi dirinya, sebagai akibat indoktrisasi mata kuliah di kampus-kampus, yang cenderung sistemik dan formalistis. Hampir dapat dikatakan, sebagian dosen benar-benar menjadi pengajar, dan bukan menjadi pendidik, yang dapat membuka wacana pikir terhadap mahasiswa, tentang bagaimana seharusnya menjadi alumnus yang bisa berdikari setelah mereka selesai dari bangku kuliah.

Bila kita menyimak sekilas jumlah pengagguran, hati kita patut prihatin. Data Bank Dunia (Word Bank) menyebutkan tentang jumlah masyarakat miskin dan jumlah pengangguran di Indonesia, khususnya di Sumsel. Sebagaimana dilansir media, dua tahun lalu (2005) data Bank Dunia menyebutkan, jumlah orang miskin di negeri ini, sebanyak 110 juta jiwa. Sementara jumlah pengangguran mencapai 40 juta lebih. Di Sumsel tahun 2005 ada sekitar 1, 3 juta atau 21 persen penduduk miskin dan pada tahun 2007 sudah bertambah 10 persen, bahkan bila diteliti ulang jumlah ini bisa lebih besar. Sementara jumlah pengangguran tidak kentara ; (disquesed unemployment), dan setengah pengangguran dan pengangguran bentuk lain, juga belum terdata secara akurat, termasuk di dalamnya para alumni Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan, yang hingga saat ini juga masih menjadi bagian pengangguran intelektual.

C. PENERBITAN MAHASISWA ALTERNATIF SOLUSI
Menyimak realitas tersebut, sepertinya memang perlu melakukan evaluasi dan menyolusi terhadap upaya pengurangan jumlah keluarga miskin dan pengangguran, terutama para pegangguran intelektual, yang notabene produk dari intitusi pendidikan di perguruan tinggi.

Pemberdayaan Penerbitan Mahasiswa
Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM), bisa menjadi embrio lahirnya para penulis dan jurnalis muda, yang dalam kurun waktu 10 tahun mendatang karyanya dapat bersejajar dengan para penulis lain di Indonesia. Pernyataan ini sama sekali bukan sebatas utopia atau hayalan belaka. Namun ini sudah menjadi fakta sejarah, betapa Penerbitan Mahasiswa telah banyak memberi kontribusi terhadap upaya pengurangan pengangguran dengan menciptakan ekonomi kreatif bagi para alumnus-nya. Intinya, melalui penerbitan mahasiswa, sudah melahirkan kader-kader penulis dan jurnalis (wartawan), yang kini dapat dilihat buktinya. Harian Umum Sriwjaya Post, Sumatera Ekspres, Berita Pagi, Radio Trijaya, Radio Smart FM, dan institusi pers di kota-kota besar lainnya, hampir 40-50 persen didominasi oleh alumnus Perguruan Tinggi, yang sebelumnya mereka juga digodok dan diasah kreatifitasnya di Lembaga Penerbitan Mahasiswa.

Penerbitan Mahasiswa, selain telah melahirkan wartawan, Penerbitan Mahasiswa juga telah melahirkan penulis-penulis muda, yang dengan karyanya mereka bisa hidup tanpa harus menggantungkan dengan lamaran pegawai negeri sipil, atau harus menunggu sampai berdasa warsa diterimanya sebagai karyawan perusahaan tertentu. Melamar pekerjaan sambil menunggu jawaban dari intitusi yang dituju memang bukan satu dosa. Tetapi berdiam diri tanpa ada upaya menggali potensi untuk terus berdikari di kaki sendiri, merupakan sikap yang kontra produktif dengan cita-cita sebuah Perguran Tinggi, sebagai ‘mesin cetak’ para intelektual muda. Menunggu tanpa menggali potensi diri, sama saja mengingkari fitrah manusia, yang telah tercipta dengan jutaan potensi dan dalam bentuk yang sempurna. (fii ahsani taqwiim).

Melalui Penerbitan Mahasiswa, akan membuka lapangan pekerjaan baru, khususnya bagi aktifis pers mahasiswa yaang sadar dengan potensi itu. Hampir bisa dikatakan, semua kampus perguruan tinggi memiliki para pakar pendidikan yang bukan saja S.2, tetapi S3 atau bahkan profesor. Dari sini kita kemudian muncul pertanyaan? Bagaimana karya para profesor ini bisa dijadikan sebagai upaya dalam menciptakan ekonomi kreatif bagi para mahasiswa dan para alumnus, yang mungkin saat ini masih belum mendapat pekerjaan?
Jawabnya sangat sederhana. Kita mau memulai atau tidak. Jumlah tulisan para profesor, bisa kita kumpulkan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Untuk kemudian penerbitan mahasiswa bisa melakukan kerjasama dengan penerbit, atau bahkan diterbitkan sendiri. Untuk kemudian, kumpulan tulisan para profesor itu akan menjadi sebuah buku ilmiah, yang layak jual berstandar nasional, dengan dilengkapi Indeks Standar Book Number (ISBN).

Selain karya ilmiah dari para profesor, Penerbitan Mahasiswa juga bisa menjadi fasilitator dalam pengumpulan teks khutbah Jumat dari para khotib, yang teks khutbahnya ditulis sendiri. Yang menjadi ironis adalah, sebagian diantara kita (terutama alumnus IAIN) hampir mayoritas lebih memilih membaca teks khutbah orang lain, dari pada harus menulis dan membuat analisa sendiri . Padahal, teks khutbah Jumat merupakan potensi besar untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Jika kita hitung secara matematik, dalam satu tahun, dari setiap masjid bisa menghasilkan 48 judul khutbah Jumat. Dari 48 judul ini, bila dibuat buku kumpulan Khutbah Jumat bisa dibuat dua atau bahkan tiga buku. Kalau satu masjid saja bisa menghasilkan 48 judul, lalu bagaimama jika penerbitan mahasiswa juga mengelola dan mengumpulkan teks khutbah Jumat dari 10 masjid? Akan berapa banyak buku kumpulan khutbah Jumat yang diterbitkan oleh penerbitan mahasiswa di kampus IAIN? Sungguh! Ini adalah sebuah potensi besar yang selama ini mungkin kita abaikan.

Dari konteks ini, ada sebuah pertanyaan? Dari mana para penggiat penerbitan mahasiswa mendapat keuntungan? Sudah menjadi hukum alam. Setiap penerbitan buku, jelas akan melibatkan banyak pihak. Sejak dari pengumpul naskah, desain sampul / tenaga grafis-tata letak (lay out) atau bahkan editor? Semua itu adalah peluang bagi para mahasiswa dan alumnus untuk mencoba bangkit dan berdiri di kaki sendiri, dengan menciptakan ekonomi kreatif melalui penerbitan mahasiswa. Bila ini bisa dilakukan, siapapun yang baru saja menyelesaikan kuliah dari perguruan tinggi, tidak pernah akan bingung mencari peluang kerja. Atau bagi para dosen, tidak harus pusing menjual diktat dan tawar menawar nilai kepada mahasiswa, untuk sekedar mencari tambahan, diluar gaji bulanan. Kenapa? Sebab, peluang kerja itu sebenarnya sudah sedemikian luas dibentangkan oleh sang pemilik bumi, Allah Robul Jaliil. Hanya saja sebagian diantara kita tidak sesering mungkin memutar otak dengan menciptakan kreatifitas kerja, yang sebenarnya menjadi bagian dari ke-khalifahan manusia itu sendiri.

Keuntungan Material & Immaterial
Sangat jelas. Dengan munculnya banyak penerbitan yang dilahirkan dari kampus ini, minimal akan mendapat dua keuntungan, material dan immaterial. Secara material, sang penulis akan mendapat royalti sekecil-kecilnya, minimal 12, 5 persen dari penjualan satu buku. Editor, pengumpul naskah, tim kreatif, desain sampul juga akan mendapat royalti 5, 5 persen dari hasil penjualan buku. Jumlah keuntungan ini hanya diambil dari data umum yang sudah diberlakukan di beberapa penerbit. Keuntungan ini baru diambil dari hasil penjualan satu buku. Jauh lebih besar dari itu, sebuah penerbitan mahasiswa bisa menjalin kerjasama dengan institusi lain, seperti PT. Pusri, PT. Pertamina atau PT. Tambang Batubara, atau dengan lembaga lain yang konsen terhadap upaya pencerdasan bangsa melalui penerbitan buku. Dari lembaga-lembaga donor inilah, diluar keuntungan dari hasil penjualan buku, semua tim kreatif yang turut menyusun penerbitan sudah pasti akan mendapat tambahan insentif secara profesional.

Keuntungan immaterial. Kampus Perguruan Tinggi, sebagai institusi yang ikut menerbitkan buku, secara perlahan nilai jualnya akan muncul dipermukaan. Dengan sendirinya, penerbitan mahasiswa--sekaligus akan menaikkan posisi tawar sebuah perguruan tinggi di mata publik. Sebab satu hal yang sering terlupa, ukuran atau standar kualitas intelektual sebuah perguruan tinggi, adalah bagaimana, dan berapa banyak penerbitan karya ilmiah yang sudah diterbitkan? Tentu pertanyaan ini sekaligus menjadi pekerjaan rumah perguruan tinggi, atau bagi penerbitan mahasiswa, yang bukan hanya konsen untuk menerbitkan majalah, tetapi lebih dari itu bisa membantu proses dinamisasi intelektual di kalangan mahasiswa, dosen dan seluruh civitas akademika.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini, sudah tentu memerlukan kerjasama. Bukan sama-sama kerja. Sekali lagi, yang dibutuhkan kerjasama bukan sama-sama kerja. Intitusi perguruan tinggi, sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam mengalokasikan dana bagi setiap UKM dan UKK, perlu ada sharing antar penerbitan mahasiswa dan dengan pihak lain yang bisa diajak kerjasama..

Penerbitan mahasiswa, sebagai lembaga yang konsen dalam penerbitan juga menyusun Rancangan Anggaran Biaya (RAB), dalam setiap tahun, baik anggaran penerbitan majalah secara berkala, atau penerbitan buku bagi para dosen. Pentingnya hal ini, akan memudahkan Perguruan Tinggi untuk mengalokasikan dana rutin bagi setiap UKM dan UKK. Namun demikian, Lembaga Penerbitan Mahasiswa tidak serta merta harus tergantung dengan Perguraun Tinggi. Sebab, media (majalah, koran, bulettin), yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan mahasiswa, merupakan potensi besar untuk menggali keuntungan iklan sebanyak-banyaknya. Tentu, tanpa harus meninggalkan pesan moral dan muatan intelektual.

Mengapa ini penting? Sebab, menggantungkan penerbitan hanya dengan anggaran dana perguruan tinggi, maka sebuah Lembaga Penerbitan Mahasiswa, atau penerbitan lain yang ada di dalam kampus, seperti pusat penelitian dan sejenisnya, hanya akan menjadi gudang tesis, desertasi, majalah berkala, yang sama sekali tidak akan memiliki nilai jual. Padahal, jika semua itu digarap dan diolah sedemikain rupa, bukan tidak mungkin institusi perguruan tinggi, seperti IAIN Raden Fatah, akan memunculkan badan usaha baru, yang bergerak dalam penerbitan buku. Kalau satu buah buku saja masing-masing tim kerja mendapat keuntungan materi? Bagaimana jika penerbitan mahasiswa ini juga diberdayakan sebagai lembaga penerbit buku yang secara periodik menerbitkan karya ilmiah yang layak jual di pasaran? Kalkulasi sederhana, seorang editor buku dalam satu bulannya bisa menghasilkan Rp. 10 juta per bulan dari hasil jerih payahnya. Bagaimana dengan para penulisnya? Tentu jauh lebih besar dari itu. Apakah ini bisa dilakukan? Persoalannya adalah, tinggal kita : mau atau tidak?!

Kapan akan memulai?
Upaya menciptakan ekonomi kreatif yang sering digulirkan Presiden SBY ini, sebenarnya bisa dilakukan jauh sebelum forum ini diselenggarakan. Masalahnya kemudian adalah, kita sering berpikir pragmatis. Hari ini menulis, hari ini juga harus mendapat uang. Logika seperti ini, hanya akan layak diterapkan bagi jual beli buah-buah-an atau jual beli ikan asin. Sementara, menjual buku, menjual karya ilmiah membutuhakn energi, strategi dan waktu yang cukup panjang. Bagi dunia bisnis penerbitan, bukan hari ini untuk hari ini, tetapi hari ini untuk seumur hidup. Sebab, karya ilmiah dalam bentuk buku, bukan hanya generasi terkini saja yang dapat menikmati dan membeli. Tetapi sepanjang sejarah dan putaran waktu, bila karya kita bermanfaat bagi orang banyak, maka sudah pasti bau harum karya itu akan tetap abadi walau kita sudah berkalang tanah. Masalahnya kemudian, kapan kita akan memulai, untuk mengusir musuh besar kita yang bernama kemalasan? Jawabnya ada dalam diri kita masing-masing. (*)

BIODATA SINGKAT

IMRON SUPRIYADI. Lahir di Magelang, Jawa Tengah 18 Mei 1973. Selama 12 tahun tinggal di Palembang. Alumnus Fak. Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang 1998. Atif menulis sejak tahun 1993 sejak bergabung di Majalah Ukhuwah IAIN RF. Kolom, Cerpen, Essay, Opini pernah dimuat di beberapa media di Palembang dan media ibu kota Jakarta dan cyber sastra : www.ceritanet.com. Sekarang mengelola Yayasan Pendidikan Islam dan Majalah Anak Seolah “Bintang Pelajar” di Muara Enim—kerjasama dengan Yayasan Keluarga Besar Bukit Asam (YAKASABA) dan Penerbit CV. Tunas Gemilang Palembang. Atifitas lain, mengelola Teater di Tanjung Enim. Sekarang sedang persiapan menggarap film pendidikan durasi 30 menit dengan judul “Sekolah di Di Dalam WC” kerjasama BS Studio dan Batu Hitam Production di Tanjung Enim.

Karya Buku : (Sebagian masih dalam proses editing penerbit)

1. Kumpulan Cerpen “Sedang Tuhan Pun Bisa Mati” (Tenggala Press : 2003)
2. Kumpulan Cerpen “Ketika Iblis Membentangkan Sajadah” (Batuhitam Press : 2004)
3. Novel “Ustdaz di Kampung Maling” (Tunas Gemilang : 2006-2007).
4. Novel “Jilbab Tak Bertuhan” (Tunas Gemilang : 2006)
5. Jurnal “Nikmatnya Mengurus Masjid” (La-Tansa-PTBA – proses editing)
6. Remaja Masjid, tanggung Jawab Siapa? (YNI Press-proses editing)
7. “Islam dan Anak Jalanan” (diolah dari Skripsi - Tunas Gemilang : 2006)
8. Jurnal Khutbah Jumat “Menuju Masyarakat Madani” (PTBA – proses editing)
9. Menjadi Kaya dari Menulis (Tunas Gemilang : 2007)
10. Belajar Jurnalistik itu Gampang (Amik Rama : 2007)
11. Dan lain-lain dalam bentuk naskah Drama, Film dan Sinetron.

**) Disampaikan pada acara Pelantikan LPM Ukhuwah IAIN, 20 Januari 2008 di Aditorium IAIN RF Palembang.
.

0 komentar:

Posting Komentar

Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang. Diberdayakan oleh Blogger.
WordLinx - Get Paid To Click