Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Mahasiswa Pascasarjana FKIP Unila)
Momentum akhir tahun pantas dijadikan ajang refleksi oleh siapa pun, tak terkecuali kalangan jurnalis. Sebutan jurnalis di sini dapat dipersamakan dengan wartawan maupun reporter. Profesi jurnalis adalah mulia. Seperti juga yang lain, jurnalis sejatinya penerang masyarakat. Fungsinya mencerdaskan masyarakat melalui pesan-pesan jurnalistik.
TAPI, profesi apa pun senantiasa memiliki tantangan dan hambatan. Mewujudkan cita-cita ideal pasti membutuhkan perjuangan dan proses panjang. Mungkin menuai pujian, apresiasi, bahkan menerima kritikan juga kecaman. Apa pun itu, harus menjadi ’’vitamin’’ yang menyehatkan dan menjadi pembuka jalan mencapai kemajuan lebih baik lagi.
Refleksi perlu untuk menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap apa yang sudah kita capai. Dalam suatu lembaga, refleksi dari ’’orang luar’’ kiranya perlu, agar tidak terjebak dalam ’’comfort zone’’ dan inspirasi untuk berpikir ’’out of the box’’. Atau, minimal menjadi umpan balik. Evaluasi penting untuk menjadi landasan bagi perbaikan.
Sudut pandang ’’orang luar’’ dapat dipahami sebagai pandangan awam, mewakili mainstream pendapat masyarakat. Penyajian wacana akan memberikan posisi yang sebenarnya, meluruskan persepsi yang keliru, atau melengkapi penilaian agar lebih objektif.
Kerja Disiplin
Sadar atau tidak, senang atau tidak, dalam beberapa waktu terakhir, ada nada gugatan terhadap praktik jurnalistik. Yang masih hangat adalah mencuatnya kasus kekerasan di Mesuji. Rangkaian peristiwanya panjang. Permasalahannya kompleks. Pihak terkait cukup banyak. Meledaknya di Jakarta.
Nada gugatan itu berbunyi: Di mana rekan-rekan jurnalis saat itu? Di mana peran kontrol media terhadap kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat? Apakah rekan-rekan media (terutama media lokal) tidak tahu? Dan sederet pertanyaan, yang mengarah pada kerja jurnalis.
Banyak peristiwa sejenis, yang menurut awam luput dari perhatian media dan jurnalisnya. Sebut saja kasus pelesiran Gayus Tambunan. Atau kasus-kasus yang lingkup daerah terkecil, gizi buruk, gedung sekolah rusak, dan sebagainya.
Tapi gugatan, pertanyaan, atau penilaian itu boleh dibilang telah terjawab dan tidak sepenuhnya diarahkan untuk jurnalis. Media telah memberitakan, bahkan melakukan investigasi. Ini bisa ditelusuri kembali pada pemberitaan periode tersebut.
Justru tertangkapnya Gayus oleh kamera jurnalis, merupakan salah satu bukti bahwa kerja jurnalis tak terbatas tempat dan waktu. Jurnalis bekerja keras, disiplin, ketat, dan cepat. Liputan peristiwa kapan pun dan di manapun segera disampaikan ke audiensinya.
Harus diakui, peran jurnalis sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Melalui hasil kerja jurnalis terbuka cakrawala pandangan. Menikmati produk jurnalistik memberikan inspirasi dan memacu semangat untuk berkarya, berprestasi, dan meraih yang terbaik.
Kompetensi
Salah satu tantangan internal di kalangan jurnalis adalah mewujudkan profil diri yang kompeten dan berintegritas. Jurnalis harus tertantang merealisasikan semua unsur kode etik yang berlaku. Dengan demikian, jurnalis juga terhindar dari tindakan melanggar hukum. Bahkan mempraktikkan kode etik jurnalis berarti telah memuliakan profesi, diri, dan harkat kemanusiaan. Kode etik yang berisi norma-norma, hakikatnya adalah suara hati nurani.
Jurnalis harus menampilkan diri dan kerjanya secara berimbang, memihak kebenaran, membantu pihak yang lemah dan ditindas. Jurnalis percaya diri menyampaikan informasi yang dikumpulkannya, tanpa harus merasa menang sendiri. Jurnalis terbuka menerima masukan dan pendapat orang lain. Siapa pun dia, yang harus dilihat adalah gagasannya untuk kemajuan jurnalis.
Konsep 5 W + 1 H sudah jamak dipahami wartawan dalam membuat berita. Ini adalah singkatan dari kata bahasa Inggris; what (apa), who (siapa), why (mengapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana). Penyusunannya bisa sembarang, bergantung mana yang mau ditonjolkan. Bahkan ada yang menambahkan 1 S yaitu safety. Tapi bukan dalam arti yang negatif. Ini memang penting untuk meminimalisasi risiko. Bukan menghindari risiko.
Tetap Menarik
Karya jurnalistik tidak hanya berita. Karya jurnalistik tidak juga harus selalu serius. Tidak juga selalu hiruk-pikuk politik yang syarat kepentingan. Tidak juga selalu konflik dan perselisihan. Sajian media dan karya jurnalistik harus kaya informasi dan tetap enak dinikmati oleh semua kalangan.
Jurnalistik terus berkembang dengan perpaduan ragam cara, media, dan titik tekan utamanya. Mekanisme kerja jurnalis juga berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Wartawan ’’didoktrin’’ untuk kerja keras, kerja cerdas, dan kerja cepat. Tapi semua itu tidak boleh mengabaikan kejujuran, keakuratan, keberimbangan, dan etika sopan santun.
Tapi, saya berpendapat, elemen filosofis harus mewarnai setiap karya jurnalistik. Minimal tiga pertanyaan tentang ’’Apa’’, ’’Mengapa’’, dan ’’Bagaimana?’’ secara mendalam. Mendalam bukan berarti harus panjang lebar, dan kehilangan kejelasan serta menganulir kemenarikan.
Mendalam artinya memberi makna dan sekaligus misi humanisme atas setiap karya jurnalistiknya. Makna itu harus memberikan manfaat bagi audiensi. Jurnalis harus memainkan peran sebagai pemandu arah dan obor penerang bagi masyarakat. Jurnalis harus bertindak berlandaskan keahlian, keterampilan, dan kebijaksanaan. Salah satu wartawan senior menulis bahwa kerja jurnalis adalah mencerdaskan bangsa melalui pesan-pesan jurnalistik.
Suatu profesi disebut profesional mensyaratkan pendidikan formal dan pengembangan berkelanjutan. Dapatkan ini diterapkan dalam praktik jurnalistik? Tantangan cukup banyak. Lembaga pendidikan yang melahirkan sarjana komunikasi, sebagian besar menyasar pada tujuan akhir profesi di bidang public relation bahkan marketing. Sebagian saja yang menukik pada penyelenggaraan jurnalistik. Kondisi ini mencerminkan krisis input sumber daya manusia dari sumber lembaga pendidikan formal. Kondisi ini berlangsung sejak era kemerdekaan hingga kini. Permasalahan ini merupakan ’’pekerjaan rumah’’ tersendiri bagi kalangan jurnalis, pengelola media, dan lembaga pendidikan.
Optimisme
Sebagian besar jurnalis, berasal dari basis pendidikan yang beragam. Kemampuan dan keterampilan kerja diperoleh sambil kerja dan bimbingan institusi tempat kerjanya atau bimbingan dari para seniornya. Dan ini justru yang terbukti efektif mampu melahirkan jurnalis yang mumpuni, berintegritas, dan menjunjung tinggi independensi.
Bagi sebagian siswa menjadi jurnalis merupakan profesi yang menantang. Mereka selalu berusaha memenuhi hasrat ingin tahu seluk-beluk kerja jurnalis dan apa itu jurnalistik dan dunia kepenulisan. Kenyataan ini merupakan angin segar bagi regenerasi jurnalis di masa depan. Tinggal bagaimana mengarahkan, membina dan memberikan ruang dan akses pada pendidikan yang sesuai. Kolaborasi antara jurnalis, media, dan lembaga pendidikan harus terus dibangun dan ditingkatkan, selain sebagai wahana mencari sumber-sumber berbakat, juga sekaligus mengedukasi masyarakat tentang praktik jurnalistik yang benar.
Kita harus beranjak dari 2011. pada 2012 mesti diberi tataran, apa saja yang akan dilalui. Kriterianya ’’pencapaian’’ kemajuan secara bertahap dan berkelanjutan. Tidak ada pekerjaan mudah, tetapi harus tetap optimistis. Dan jurnalis hendaknya menyebarluaskan optimisme itu kepada setiap orang. (*)
Sumber : http://radarlampung.co.id/read/opini/44528-memahami-profesi-jurnalis-refleksi-akhir-tahun
Memahami Profesi Jurnalis (Refleksi Akhir Tahun)
Diposting oleh
AJI PALEMBANG
on Minggu, 01 Januari 2012
Label:
OPINI
Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar