Ditulis oleh Khaerudin, Marcus Suprihadi KOMPAS.com Rabu, 19 Oktober 2011
JAKARTA, KOMPAS.com- Monopoli atau pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran di tangan satu badan usaha atau perseorangan tertentu dinilai melanggar Undang-Undang Penyiaran. Namun monopoli kepemilikan masih terus berjalan karena badan hukum atau perseorangan menafsirkan sepihak ketentuan kepemilikan yang diatur oleh UU Penyiaran tersebut, sehingga tetap bisa melanggengkan kepemilikan mereka yang monopolistik atas lembaga penyiaran.
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Selasa (18/10/2011), di Jakarta mengajukan gugatan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut Koordinator KIDP Eko Maryadi, pengajuan uji materi ini dilakukan menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum atau perseorangan terhadap Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No.32/2002 yang dinilai hanya menguntungkan sekelompok pemodal dan orang tertentu. Akibatnya, penafsiran sepihak terhadap dua pasal tersebut telah muncul pemusatan atau monopoli kepemilikan stasiun penyiaran televise dan radio di tangan segelintir pengusaha.
"Kami berpendapat bahwa penyiaran adalah suatu usaha yang mempergunakan ranah publik bernama frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, saat ini terjadi praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran," kata Eko.
Dia mencontohkan monopoli kepemilikan ini terjadi antara lain oleh PT Visi Media Asia Tbk yang memiliki ANTV dan TVOne, PT Elang Mahkota Teknologi yang mengusai Indosiar, SCTV dan O Channel, serta PT Media Nusantara Citra Tbk yang menguasi RCTI, Global TV dan MNC TV.
Menurut Eko, MK diminta menafsirkan secara tunggal Pasl 18 Ayat 1 UU Penyiaran, sehingga satu badan hukum atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggara jasa penyiaran televise yang berlokasi di satu provinsi.
Koalisi yang antara lain terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Aliansi Wartawan Radio, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, dan Pemantau Regulasi Regulator Media menilai MK berhak memberikan penafsiran atas sebuah ketentuan pasal UU agar berkesesuaian dengan nilai-nilai kontitusi.
Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR Paulus Widyatmo, UU Penyiaran sebenarnya dibuat untuk mengatur regulasi kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik.
"Kalau dimonopoli kepemilikannya, kami khawatir, bakal mengganggu arus informasi untuk publik dan pemilik lembaga penyiaran bakal memonopoli pendapat umum. Negara selama ini berkelit untuk bersikap tegas, dan seolah pasal-pasal ini multi tafsir," kata Paulus.
Monopoli Kepemilikan Lembaga Penyiaran Langgar UU
Diposting oleh
AJI PALEMBANG
on Minggu, 01 Januari 2012
Label:
News
Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar