REPUBLIKA.CO.ID--"Pemberian amplop dari narasumber atau pihak-pihak tertentu kepada jurnalis yang sedang dalam tugas peliputan, dapat membuat moral para insan pers jadi `keropos`," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Cristopel Paino. Uang amplop dari narasumber pada tingkat tertentu dapat menimbulkan candu bagi jurnalis, itu menandakan sebuah keadaan moral yang keropos, kata dia.
Selain mengancam independensi, lanjutnya, tak jarang Jurnalis yang terbiasa menerima amplop, kerap menjadikan narasumber sebagai obyek yang hanya sebatas dipandang dari segi uang atau fasilitas lain yang bisa mereka berikan.
"Narasumber tidak lagi dihargai sebagai subyek yang memberikan informasi, namun lebih pada persoalan seberapa besar uang lelah yang dia berikan pada wartawan, bahkan ada yang memakai cara pemerasan untuk mendapatkan uang," kata dia.
Namun dirinya tidak memungkiri, hal itu masih terkait dengan sistem pengupahan wartawan oleh media tempat bekerja, yang pada umumnya, masih terbilang minim."Gaji wartawan di Gorontalo misalnya, masih banyak yang berada di bawah satu juta rupiah, atau sistem kontrak," Kata dia.
Hal itu juga ditambah dengan sikap narasumber sendiri, yang masih membiasakan diri untuk memberikan uang amplop pada wartawan saat bertugas, dengan dalih, sebagai pengganti transportasi atau ongkos lelah. "Mereka tak sadar, banyak wartawan yang akhirnya menjadi tergantung dengan hal itu," kata dia.
Dengan keadaan yang sedemikian kompleks itu, menurutnya dibutuhkan kreativitas wartawan, semisal dengan menjalankan usaha sampaingan yang tidak melanggar kode etik jurnalistik, sambil terus mengupayakan agar pekerjaannya mendapatkan upah yang layak.
Redaktur: Krisman Purwoko
Sumber: ant
Read More..
Memahami Profesi Jurnalis (Refleksi Akhir Tahun)
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Mahasiswa Pascasarjana FKIP Unila)
Momentum akhir tahun pantas dijadikan ajang refleksi oleh siapa pun, tak terkecuali kalangan jurnalis. Sebutan jurnalis di sini dapat dipersamakan dengan wartawan maupun reporter. Profesi jurnalis adalah mulia. Seperti juga yang lain, jurnalis sejatinya penerang masyarakat. Fungsinya mencerdaskan masyarakat melalui pesan-pesan jurnalistik.
TAPI, profesi apa pun senantiasa memiliki tantangan dan hambatan. Mewujudkan cita-cita ideal pasti membutuhkan perjuangan dan proses panjang. Mungkin menuai pujian, apresiasi, bahkan menerima kritikan juga kecaman. Apa pun itu, harus menjadi ’’vitamin’’ yang menyehatkan dan menjadi pembuka jalan mencapai kemajuan lebih baik lagi.
Refleksi perlu untuk menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap apa yang sudah kita capai. Dalam suatu lembaga, refleksi dari ’’orang luar’’ kiranya perlu, agar tidak terjebak dalam ’’comfort zone’’ dan inspirasi untuk berpikir ’’out of the box’’. Atau, minimal menjadi umpan balik. Evaluasi penting untuk menjadi landasan bagi perbaikan.
Sudut pandang ’’orang luar’’ dapat dipahami sebagai pandangan awam, mewakili mainstream pendapat masyarakat. Penyajian wacana akan memberikan posisi yang sebenarnya, meluruskan persepsi yang keliru, atau melengkapi penilaian agar lebih objektif.
Kerja Disiplin
Sadar atau tidak, senang atau tidak, dalam beberapa waktu terakhir, ada nada gugatan terhadap praktik jurnalistik. Yang masih hangat adalah mencuatnya kasus kekerasan di Mesuji. Rangkaian peristiwanya panjang. Permasalahannya kompleks. Pihak terkait cukup banyak. Meledaknya di Jakarta.
Nada gugatan itu berbunyi: Di mana rekan-rekan jurnalis saat itu? Di mana peran kontrol media terhadap kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat? Apakah rekan-rekan media (terutama media lokal) tidak tahu? Dan sederet pertanyaan, yang mengarah pada kerja jurnalis.
Banyak peristiwa sejenis, yang menurut awam luput dari perhatian media dan jurnalisnya. Sebut saja kasus pelesiran Gayus Tambunan. Atau kasus-kasus yang lingkup daerah terkecil, gizi buruk, gedung sekolah rusak, dan sebagainya.
Tapi gugatan, pertanyaan, atau penilaian itu boleh dibilang telah terjawab dan tidak sepenuhnya diarahkan untuk jurnalis. Media telah memberitakan, bahkan melakukan investigasi. Ini bisa ditelusuri kembali pada pemberitaan periode tersebut.
Justru tertangkapnya Gayus oleh kamera jurnalis, merupakan salah satu bukti bahwa kerja jurnalis tak terbatas tempat dan waktu. Jurnalis bekerja keras, disiplin, ketat, dan cepat. Liputan peristiwa kapan pun dan di manapun segera disampaikan ke audiensinya.
Harus diakui, peran jurnalis sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Melalui hasil kerja jurnalis terbuka cakrawala pandangan. Menikmati produk jurnalistik memberikan inspirasi dan memacu semangat untuk berkarya, berprestasi, dan meraih yang terbaik.
Kompetensi
Salah satu tantangan internal di kalangan jurnalis adalah mewujudkan profil diri yang kompeten dan berintegritas. Jurnalis harus tertantang merealisasikan semua unsur kode etik yang berlaku. Dengan demikian, jurnalis juga terhindar dari tindakan melanggar hukum. Bahkan mempraktikkan kode etik jurnalis berarti telah memuliakan profesi, diri, dan harkat kemanusiaan. Kode etik yang berisi norma-norma, hakikatnya adalah suara hati nurani.
Jurnalis harus menampilkan diri dan kerjanya secara berimbang, memihak kebenaran, membantu pihak yang lemah dan ditindas. Jurnalis percaya diri menyampaikan informasi yang dikumpulkannya, tanpa harus merasa menang sendiri. Jurnalis terbuka menerima masukan dan pendapat orang lain. Siapa pun dia, yang harus dilihat adalah gagasannya untuk kemajuan jurnalis.
Konsep 5 W + 1 H sudah jamak dipahami wartawan dalam membuat berita. Ini adalah singkatan dari kata bahasa Inggris; what (apa), who (siapa), why (mengapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana). Penyusunannya bisa sembarang, bergantung mana yang mau ditonjolkan. Bahkan ada yang menambahkan 1 S yaitu safety. Tapi bukan dalam arti yang negatif. Ini memang penting untuk meminimalisasi risiko. Bukan menghindari risiko.
Tetap Menarik
Karya jurnalistik tidak hanya berita. Karya jurnalistik tidak juga harus selalu serius. Tidak juga selalu hiruk-pikuk politik yang syarat kepentingan. Tidak juga selalu konflik dan perselisihan. Sajian media dan karya jurnalistik harus kaya informasi dan tetap enak dinikmati oleh semua kalangan.
Jurnalistik terus berkembang dengan perpaduan ragam cara, media, dan titik tekan utamanya. Mekanisme kerja jurnalis juga berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Wartawan ’’didoktrin’’ untuk kerja keras, kerja cerdas, dan kerja cepat. Tapi semua itu tidak boleh mengabaikan kejujuran, keakuratan, keberimbangan, dan etika sopan santun.
Tapi, saya berpendapat, elemen filosofis harus mewarnai setiap karya jurnalistik. Minimal tiga pertanyaan tentang ’’Apa’’, ’’Mengapa’’, dan ’’Bagaimana?’’ secara mendalam. Mendalam bukan berarti harus panjang lebar, dan kehilangan kejelasan serta menganulir kemenarikan.
Mendalam artinya memberi makna dan sekaligus misi humanisme atas setiap karya jurnalistiknya. Makna itu harus memberikan manfaat bagi audiensi. Jurnalis harus memainkan peran sebagai pemandu arah dan obor penerang bagi masyarakat. Jurnalis harus bertindak berlandaskan keahlian, keterampilan, dan kebijaksanaan. Salah satu wartawan senior menulis bahwa kerja jurnalis adalah mencerdaskan bangsa melalui pesan-pesan jurnalistik.
Suatu profesi disebut profesional mensyaratkan pendidikan formal dan pengembangan berkelanjutan. Dapatkan ini diterapkan dalam praktik jurnalistik? Tantangan cukup banyak. Lembaga pendidikan yang melahirkan sarjana komunikasi, sebagian besar menyasar pada tujuan akhir profesi di bidang public relation bahkan marketing. Sebagian saja yang menukik pada penyelenggaraan jurnalistik. Kondisi ini mencerminkan krisis input sumber daya manusia dari sumber lembaga pendidikan formal. Kondisi ini berlangsung sejak era kemerdekaan hingga kini. Permasalahan ini merupakan ’’pekerjaan rumah’’ tersendiri bagi kalangan jurnalis, pengelola media, dan lembaga pendidikan.
Optimisme
Sebagian besar jurnalis, berasal dari basis pendidikan yang beragam. Kemampuan dan keterampilan kerja diperoleh sambil kerja dan bimbingan institusi tempat kerjanya atau bimbingan dari para seniornya. Dan ini justru yang terbukti efektif mampu melahirkan jurnalis yang mumpuni, berintegritas, dan menjunjung tinggi independensi.
Bagi sebagian siswa menjadi jurnalis merupakan profesi yang menantang. Mereka selalu berusaha memenuhi hasrat ingin tahu seluk-beluk kerja jurnalis dan apa itu jurnalistik dan dunia kepenulisan. Kenyataan ini merupakan angin segar bagi regenerasi jurnalis di masa depan. Tinggal bagaimana mengarahkan, membina dan memberikan ruang dan akses pada pendidikan yang sesuai. Kolaborasi antara jurnalis, media, dan lembaga pendidikan harus terus dibangun dan ditingkatkan, selain sebagai wahana mencari sumber-sumber berbakat, juga sekaligus mengedukasi masyarakat tentang praktik jurnalistik yang benar.
Kita harus beranjak dari 2011. pada 2012 mesti diberi tataran, apa saja yang akan dilalui. Kriterianya ’’pencapaian’’ kemajuan secara bertahap dan berkelanjutan. Tidak ada pekerjaan mudah, tetapi harus tetap optimistis. Dan jurnalis hendaknya menyebarluaskan optimisme itu kepada setiap orang. (*)
Sumber : http://radarlampung.co.id/read/opini/44528-memahami-profesi-jurnalis-refleksi-akhir-tahun
Read More..
Momentum akhir tahun pantas dijadikan ajang refleksi oleh siapa pun, tak terkecuali kalangan jurnalis. Sebutan jurnalis di sini dapat dipersamakan dengan wartawan maupun reporter. Profesi jurnalis adalah mulia. Seperti juga yang lain, jurnalis sejatinya penerang masyarakat. Fungsinya mencerdaskan masyarakat melalui pesan-pesan jurnalistik.
TAPI, profesi apa pun senantiasa memiliki tantangan dan hambatan. Mewujudkan cita-cita ideal pasti membutuhkan perjuangan dan proses panjang. Mungkin menuai pujian, apresiasi, bahkan menerima kritikan juga kecaman. Apa pun itu, harus menjadi ’’vitamin’’ yang menyehatkan dan menjadi pembuka jalan mencapai kemajuan lebih baik lagi.
Refleksi perlu untuk menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap apa yang sudah kita capai. Dalam suatu lembaga, refleksi dari ’’orang luar’’ kiranya perlu, agar tidak terjebak dalam ’’comfort zone’’ dan inspirasi untuk berpikir ’’out of the box’’. Atau, minimal menjadi umpan balik. Evaluasi penting untuk menjadi landasan bagi perbaikan.
Sudut pandang ’’orang luar’’ dapat dipahami sebagai pandangan awam, mewakili mainstream pendapat masyarakat. Penyajian wacana akan memberikan posisi yang sebenarnya, meluruskan persepsi yang keliru, atau melengkapi penilaian agar lebih objektif.
Kerja Disiplin
Sadar atau tidak, senang atau tidak, dalam beberapa waktu terakhir, ada nada gugatan terhadap praktik jurnalistik. Yang masih hangat adalah mencuatnya kasus kekerasan di Mesuji. Rangkaian peristiwanya panjang. Permasalahannya kompleks. Pihak terkait cukup banyak. Meledaknya di Jakarta.
Nada gugatan itu berbunyi: Di mana rekan-rekan jurnalis saat itu? Di mana peran kontrol media terhadap kebijakan yang melibatkan kepentingan rakyat? Apakah rekan-rekan media (terutama media lokal) tidak tahu? Dan sederet pertanyaan, yang mengarah pada kerja jurnalis.
Banyak peristiwa sejenis, yang menurut awam luput dari perhatian media dan jurnalisnya. Sebut saja kasus pelesiran Gayus Tambunan. Atau kasus-kasus yang lingkup daerah terkecil, gizi buruk, gedung sekolah rusak, dan sebagainya.
Tapi gugatan, pertanyaan, atau penilaian itu boleh dibilang telah terjawab dan tidak sepenuhnya diarahkan untuk jurnalis. Media telah memberitakan, bahkan melakukan investigasi. Ini bisa ditelusuri kembali pada pemberitaan periode tersebut.
Justru tertangkapnya Gayus oleh kamera jurnalis, merupakan salah satu bukti bahwa kerja jurnalis tak terbatas tempat dan waktu. Jurnalis bekerja keras, disiplin, ketat, dan cepat. Liputan peristiwa kapan pun dan di manapun segera disampaikan ke audiensinya.
Harus diakui, peran jurnalis sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Melalui hasil kerja jurnalis terbuka cakrawala pandangan. Menikmati produk jurnalistik memberikan inspirasi dan memacu semangat untuk berkarya, berprestasi, dan meraih yang terbaik.
Kompetensi
Salah satu tantangan internal di kalangan jurnalis adalah mewujudkan profil diri yang kompeten dan berintegritas. Jurnalis harus tertantang merealisasikan semua unsur kode etik yang berlaku. Dengan demikian, jurnalis juga terhindar dari tindakan melanggar hukum. Bahkan mempraktikkan kode etik jurnalis berarti telah memuliakan profesi, diri, dan harkat kemanusiaan. Kode etik yang berisi norma-norma, hakikatnya adalah suara hati nurani.
Jurnalis harus menampilkan diri dan kerjanya secara berimbang, memihak kebenaran, membantu pihak yang lemah dan ditindas. Jurnalis percaya diri menyampaikan informasi yang dikumpulkannya, tanpa harus merasa menang sendiri. Jurnalis terbuka menerima masukan dan pendapat orang lain. Siapa pun dia, yang harus dilihat adalah gagasannya untuk kemajuan jurnalis.
Konsep 5 W + 1 H sudah jamak dipahami wartawan dalam membuat berita. Ini adalah singkatan dari kata bahasa Inggris; what (apa), who (siapa), why (mengapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana). Penyusunannya bisa sembarang, bergantung mana yang mau ditonjolkan. Bahkan ada yang menambahkan 1 S yaitu safety. Tapi bukan dalam arti yang negatif. Ini memang penting untuk meminimalisasi risiko. Bukan menghindari risiko.
Tetap Menarik
Karya jurnalistik tidak hanya berita. Karya jurnalistik tidak juga harus selalu serius. Tidak juga selalu hiruk-pikuk politik yang syarat kepentingan. Tidak juga selalu konflik dan perselisihan. Sajian media dan karya jurnalistik harus kaya informasi dan tetap enak dinikmati oleh semua kalangan.
Jurnalistik terus berkembang dengan perpaduan ragam cara, media, dan titik tekan utamanya. Mekanisme kerja jurnalis juga berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Wartawan ’’didoktrin’’ untuk kerja keras, kerja cerdas, dan kerja cepat. Tapi semua itu tidak boleh mengabaikan kejujuran, keakuratan, keberimbangan, dan etika sopan santun.
Tapi, saya berpendapat, elemen filosofis harus mewarnai setiap karya jurnalistik. Minimal tiga pertanyaan tentang ’’Apa’’, ’’Mengapa’’, dan ’’Bagaimana?’’ secara mendalam. Mendalam bukan berarti harus panjang lebar, dan kehilangan kejelasan serta menganulir kemenarikan.
Mendalam artinya memberi makna dan sekaligus misi humanisme atas setiap karya jurnalistiknya. Makna itu harus memberikan manfaat bagi audiensi. Jurnalis harus memainkan peran sebagai pemandu arah dan obor penerang bagi masyarakat. Jurnalis harus bertindak berlandaskan keahlian, keterampilan, dan kebijaksanaan. Salah satu wartawan senior menulis bahwa kerja jurnalis adalah mencerdaskan bangsa melalui pesan-pesan jurnalistik.
Suatu profesi disebut profesional mensyaratkan pendidikan formal dan pengembangan berkelanjutan. Dapatkan ini diterapkan dalam praktik jurnalistik? Tantangan cukup banyak. Lembaga pendidikan yang melahirkan sarjana komunikasi, sebagian besar menyasar pada tujuan akhir profesi di bidang public relation bahkan marketing. Sebagian saja yang menukik pada penyelenggaraan jurnalistik. Kondisi ini mencerminkan krisis input sumber daya manusia dari sumber lembaga pendidikan formal. Kondisi ini berlangsung sejak era kemerdekaan hingga kini. Permasalahan ini merupakan ’’pekerjaan rumah’’ tersendiri bagi kalangan jurnalis, pengelola media, dan lembaga pendidikan.
Optimisme
Sebagian besar jurnalis, berasal dari basis pendidikan yang beragam. Kemampuan dan keterampilan kerja diperoleh sambil kerja dan bimbingan institusi tempat kerjanya atau bimbingan dari para seniornya. Dan ini justru yang terbukti efektif mampu melahirkan jurnalis yang mumpuni, berintegritas, dan menjunjung tinggi independensi.
Bagi sebagian siswa menjadi jurnalis merupakan profesi yang menantang. Mereka selalu berusaha memenuhi hasrat ingin tahu seluk-beluk kerja jurnalis dan apa itu jurnalistik dan dunia kepenulisan. Kenyataan ini merupakan angin segar bagi regenerasi jurnalis di masa depan. Tinggal bagaimana mengarahkan, membina dan memberikan ruang dan akses pada pendidikan yang sesuai. Kolaborasi antara jurnalis, media, dan lembaga pendidikan harus terus dibangun dan ditingkatkan, selain sebagai wahana mencari sumber-sumber berbakat, juga sekaligus mengedukasi masyarakat tentang praktik jurnalistik yang benar.
Kita harus beranjak dari 2011. pada 2012 mesti diberi tataran, apa saja yang akan dilalui. Kriterianya ’’pencapaian’’ kemajuan secara bertahap dan berkelanjutan. Tidak ada pekerjaan mudah, tetapi harus tetap optimistis. Dan jurnalis hendaknya menyebarluaskan optimisme itu kepada setiap orang. (*)
Sumber : http://radarlampung.co.id/read/opini/44528-memahami-profesi-jurnalis-refleksi-akhir-tahun
Read More..
Indonesia Dikepung Skandal: Apakabar Jurnalisme Investigatif?
Ditulis oleh AJI Indonesia Selasa, 19 April 2011 11:08
Skandal demi skandal mewarnai berita media negeri ini. Korupsi pejabat negara, ekspor barang-barang illegal, penyalahgunaan wewenang, dan banyak lagi berita serupa. Berita-berita skandal datang dan pergi begitu saja, jarang dikupas tuntas oleh media pers. Satu skandal muncul, lalu tenggelam oleh berita skandal yang baru. Begitu seterusnya, hingga berita-berita skandal bagaikan mosaik-mosaik cerita yang terpenggal. Berita skandal bagai dongeng yang tak selesai dikisahkan.Lantas, apakabar jurnalisme investigatif? Hal ini coba dibahas dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh AJI Indonesia dan Anugerah Adiwarta Sampoerna, pada tanggal 29 Maret 2011, di Jakarta.Berikut adalah tulisan yang disarikan dari diskusi tersebut.
Suatu artikel dapat disebut sebagai artikel investigasi, jika merupakan hasil penelusuran (cerita di balik berita), mengungkap masalah sistemik, bukan berita lepas, bermaksud memperbaiki hal-hal yang keliru, menjelaskan masalah sosial yang kompleks, dan mengungkap skandal (korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dll). Sehingga Ia seringkali disebut sebagai “Journalism with an impact”. Eugene Roberts, The Inquirer mengistilahkan dengan, “Take Outs, Project Pieces, Enterprise Stories”. Menurutnya bahwa artikel investigasi seperti seseorang membeli sesuatu dan bisa dibawa pulang. Dalam karya investigasi harus ada fakta baru, membongkar kejahatan yang ditutupi, ada wawancara mendalam, dan harus ada kerja keras menelusuri dokumen-dokumen terkait.
Keterbatasan waktu, dana, sumber info, keraguan editor, tentangan dari perusahaan tempat bekerja, dan ancaman keselamatan, merupakan berbagai kesulitan dan tantangan yang dihadapi dalam liputan investigatif. Ciri dan jenis pekerjaan dalam jurnalisme investigatif ini sedemikian spesifik, maka kemampuan yang dibutuhkan juga harus spesifik. Oleh karena itu penghargaannya menjadi luar biasa.
Dalam membuat laporan investigatif diperlukan ketekunan dan mengutamakan kejujuran. Ada jalan panjang untuk sebuah penulisan investigasi yang tidak mudah dan butuh waktu. Kadang-kadang suatu investigasi harus dibikin berbulan-bulan dan pada akhirnya yang dituntut adalah sebuah unsur kejujuran. Sering kali kita sudah menulis begitu panjang dengan sangat lelah tetapi ketika tidak pada kesimpulan yang ingin kita capai, maka kita harus merelakannya untuk dibuang. Ketegaan untuk membuang karya investigasi itu yang membutuhkan kejujuran. Kadang kita sayang pada hipotesa sudah dibangun, kemudian memaksakannya, ini yang menjadi sumber malapetaka.
Menurut Metta Dharmasaputra, wartawan investigasi Tempo, “Jurnalisme investigasi tengah berada di sebuah masa dimana dia tengah dipertaruhkan bisa eksis atau tidak. Ini disebabkan media tengah bergerak dari konvensional menuju modern. Sebelumnya media cetak tergopoh-gopoh mengejar online, tetapi sekarang online tergopoh-gopoh mengejar sosial media dan citizen journalism”.
Sebuah kondisi yang menjadikan kecepatan penyajian berita menjadi tolok ukur utama, daripada kedalamannya sendiri. Jurnalisme investigasi menjadi barang langka.
Metta menjelaskan bahwa berkembangnya sosial media menyebabkan banyak terjadinya distorsi pada persepsi yang kadang-kadang butuh keberanian media untuk meluluskannya. Kadang-kadang apa yang berkembang di publik sudah dibentuk oleh sosial media. Tapi apakah kemudian dia menjadi sebuah kesimpulan jurnalistik itu membutuhkan proses yang jauh lebih panjang. Hal semacam itulah yang terjadi saat ini. Tak terkecuali WikiLeaks.
Menurut Nezar Patria, Ketua Umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, “WikiLeaks cukup popular baik buat publik maupun wartawan. Mungkin wartawan investigasi boleh cemburu jika melihat dokumen-dokumen yang didapat WikiLeaks. Namun, apakah dia hadir sebagai penangkal kekuasaan atau dia justru penantang bagi jurnalisme investigasi”.
John Naughton, seorang ahli media baru di Amerika dan Inggris, mengatakan bahwa apa yang dilakukan WikiLeaks sebenarnya mengakomodir hal yang sudah lama bolong dalam sistem demokrasi di Barat, yaitu peran publik untuk mengakses langsung beberapa informasi yang mereka butuh tahu. Itu yang menjadi alasan WikiLeaks diserang kekuasaan.
WikiLeaks bersandar pada user generated content (leakers), bekerja sama dengan mainstream media (Der Spiegel, Le Monde, Guardian, La Pais, NYT), berupa materi terbuka online bagi public, dan WikiLeaks didukung publik. Bagi Jurnalisme WikiLeaks memberikan tantangan tersendiri. WikiLeaks bersifat independent, non-profit, bermotif ideologis, mengguncang media umum dan relasi kekuasaan, memiliki kalkulasi resiko yang berbeda, serta tak akuntabel bagi regulasi media biasa.
“Saya melihat WikiLeaks sebagai dokumen yang mentah. Itu hanya sumber mentah jadi jangan gunakan WikiLeaks langsung, harus melakukan verifikasi”, pendapat Atmakusuma Astraatmadja, wartawan senior dan juri Anugerah Adiwarta Sampoerna.
Ketika kita menggunakan sosial media, sesuatu harus dibangun dengan teori jurnalistik yang benar. Semua media bisa asal dia mengikuti kaidah jurnalistik, sepanjang ada verifikasi dia layak menjadi karya jurnalistik. Ini yang kadang-kadang diabaikan media internasional, kadang-kadang dia tidak ada verifikasi juga. Sebenarnya jurnalistik bukan soal platform tapi soal konten. Jadi sepanjang kontennya bisa disajikan dengan kaidah-kaidah jurnalistik, maka tidak peduli platform manapun entah dia sosial media, radio, online, televisi, dia harus didudukkan sebagai karya jurnalistik.
Huffington Post misalnya, awalnya adalah blog lalu kemudian berkembang karena cukup banyak yang mengakses. Lalu dia menyajikan analisis, dia menyajikan juga reportase yang digarap tim, lama-lama Huffington Post ini berkembang menjadi media yang bicara tentang politik Amerika dan bahkan dinominasikan untuk dapat Pulitzer. Jadi ada evolusi dari blog yang tadinya citizen journalism atau sosial media, kemudian berevolusi menjadi media jurnalistik yang terpercaya.
Dalam liputan investigatif tantangannya luar biasa rumit, panjang, mahal, ada ancaman eksternal, ada ancaman internal. Namun, Jurnalisme investigatif tetap dibutuhkan untuk bangkitnya tradisi penggalian berita yang kini terancam lenyap (Lucinda S. Fleeson, peraih Knight Fellow). Jurnalisme investigatif akan senantiasa diperlukan karena lebih dalam dan detail, awet, serta mencerahkan. Banyak jurnalis dalam beberapa liputan investigasinya mendapatkan reward yang bukan dalam arti materi, tapi kepuasan ketika bisa mengungkap apa yang salah di negeri ini. Itulah perubahan yang tidak bisa dibeli. Begitu pentingnya liputan investigatif, sehingga perlu banyak cara untuk membuat bagaimana wartawan mau melakukan liputan-liputan ini. [end]
Read More..
Skandal demi skandal mewarnai berita media negeri ini. Korupsi pejabat negara, ekspor barang-barang illegal, penyalahgunaan wewenang, dan banyak lagi berita serupa. Berita-berita skandal datang dan pergi begitu saja, jarang dikupas tuntas oleh media pers. Satu skandal muncul, lalu tenggelam oleh berita skandal yang baru. Begitu seterusnya, hingga berita-berita skandal bagaikan mosaik-mosaik cerita yang terpenggal. Berita skandal bagai dongeng yang tak selesai dikisahkan.Lantas, apakabar jurnalisme investigatif? Hal ini coba dibahas dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh AJI Indonesia dan Anugerah Adiwarta Sampoerna, pada tanggal 29 Maret 2011, di Jakarta.Berikut adalah tulisan yang disarikan dari diskusi tersebut.
Suatu artikel dapat disebut sebagai artikel investigasi, jika merupakan hasil penelusuran (cerita di balik berita), mengungkap masalah sistemik, bukan berita lepas, bermaksud memperbaiki hal-hal yang keliru, menjelaskan masalah sosial yang kompleks, dan mengungkap skandal (korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dll). Sehingga Ia seringkali disebut sebagai “Journalism with an impact”. Eugene Roberts, The Inquirer mengistilahkan dengan, “Take Outs, Project Pieces, Enterprise Stories”. Menurutnya bahwa artikel investigasi seperti seseorang membeli sesuatu dan bisa dibawa pulang. Dalam karya investigasi harus ada fakta baru, membongkar kejahatan yang ditutupi, ada wawancara mendalam, dan harus ada kerja keras menelusuri dokumen-dokumen terkait.
Keterbatasan waktu, dana, sumber info, keraguan editor, tentangan dari perusahaan tempat bekerja, dan ancaman keselamatan, merupakan berbagai kesulitan dan tantangan yang dihadapi dalam liputan investigatif. Ciri dan jenis pekerjaan dalam jurnalisme investigatif ini sedemikian spesifik, maka kemampuan yang dibutuhkan juga harus spesifik. Oleh karena itu penghargaannya menjadi luar biasa.
Dalam membuat laporan investigatif diperlukan ketekunan dan mengutamakan kejujuran. Ada jalan panjang untuk sebuah penulisan investigasi yang tidak mudah dan butuh waktu. Kadang-kadang suatu investigasi harus dibikin berbulan-bulan dan pada akhirnya yang dituntut adalah sebuah unsur kejujuran. Sering kali kita sudah menulis begitu panjang dengan sangat lelah tetapi ketika tidak pada kesimpulan yang ingin kita capai, maka kita harus merelakannya untuk dibuang. Ketegaan untuk membuang karya investigasi itu yang membutuhkan kejujuran. Kadang kita sayang pada hipotesa sudah dibangun, kemudian memaksakannya, ini yang menjadi sumber malapetaka.
Menurut Metta Dharmasaputra, wartawan investigasi Tempo, “Jurnalisme investigasi tengah berada di sebuah masa dimana dia tengah dipertaruhkan bisa eksis atau tidak. Ini disebabkan media tengah bergerak dari konvensional menuju modern. Sebelumnya media cetak tergopoh-gopoh mengejar online, tetapi sekarang online tergopoh-gopoh mengejar sosial media dan citizen journalism”.
Sebuah kondisi yang menjadikan kecepatan penyajian berita menjadi tolok ukur utama, daripada kedalamannya sendiri. Jurnalisme investigasi menjadi barang langka.
Metta menjelaskan bahwa berkembangnya sosial media menyebabkan banyak terjadinya distorsi pada persepsi yang kadang-kadang butuh keberanian media untuk meluluskannya. Kadang-kadang apa yang berkembang di publik sudah dibentuk oleh sosial media. Tapi apakah kemudian dia menjadi sebuah kesimpulan jurnalistik itu membutuhkan proses yang jauh lebih panjang. Hal semacam itulah yang terjadi saat ini. Tak terkecuali WikiLeaks.
Menurut Nezar Patria, Ketua Umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, “WikiLeaks cukup popular baik buat publik maupun wartawan. Mungkin wartawan investigasi boleh cemburu jika melihat dokumen-dokumen yang didapat WikiLeaks. Namun, apakah dia hadir sebagai penangkal kekuasaan atau dia justru penantang bagi jurnalisme investigasi”.
John Naughton, seorang ahli media baru di Amerika dan Inggris, mengatakan bahwa apa yang dilakukan WikiLeaks sebenarnya mengakomodir hal yang sudah lama bolong dalam sistem demokrasi di Barat, yaitu peran publik untuk mengakses langsung beberapa informasi yang mereka butuh tahu. Itu yang menjadi alasan WikiLeaks diserang kekuasaan.
WikiLeaks bersandar pada user generated content (leakers), bekerja sama dengan mainstream media (Der Spiegel, Le Monde, Guardian, La Pais, NYT), berupa materi terbuka online bagi public, dan WikiLeaks didukung publik. Bagi Jurnalisme WikiLeaks memberikan tantangan tersendiri. WikiLeaks bersifat independent, non-profit, bermotif ideologis, mengguncang media umum dan relasi kekuasaan, memiliki kalkulasi resiko yang berbeda, serta tak akuntabel bagi regulasi media biasa.
“Saya melihat WikiLeaks sebagai dokumen yang mentah. Itu hanya sumber mentah jadi jangan gunakan WikiLeaks langsung, harus melakukan verifikasi”, pendapat Atmakusuma Astraatmadja, wartawan senior dan juri Anugerah Adiwarta Sampoerna.
Ketika kita menggunakan sosial media, sesuatu harus dibangun dengan teori jurnalistik yang benar. Semua media bisa asal dia mengikuti kaidah jurnalistik, sepanjang ada verifikasi dia layak menjadi karya jurnalistik. Ini yang kadang-kadang diabaikan media internasional, kadang-kadang dia tidak ada verifikasi juga. Sebenarnya jurnalistik bukan soal platform tapi soal konten. Jadi sepanjang kontennya bisa disajikan dengan kaidah-kaidah jurnalistik, maka tidak peduli platform manapun entah dia sosial media, radio, online, televisi, dia harus didudukkan sebagai karya jurnalistik.
Huffington Post misalnya, awalnya adalah blog lalu kemudian berkembang karena cukup banyak yang mengakses. Lalu dia menyajikan analisis, dia menyajikan juga reportase yang digarap tim, lama-lama Huffington Post ini berkembang menjadi media yang bicara tentang politik Amerika dan bahkan dinominasikan untuk dapat Pulitzer. Jadi ada evolusi dari blog yang tadinya citizen journalism atau sosial media, kemudian berevolusi menjadi media jurnalistik yang terpercaya.
Dalam liputan investigatif tantangannya luar biasa rumit, panjang, mahal, ada ancaman eksternal, ada ancaman internal. Namun, Jurnalisme investigatif tetap dibutuhkan untuk bangkitnya tradisi penggalian berita yang kini terancam lenyap (Lucinda S. Fleeson, peraih Knight Fellow). Jurnalisme investigatif akan senantiasa diperlukan karena lebih dalam dan detail, awet, serta mencerahkan. Banyak jurnalis dalam beberapa liputan investigasinya mendapatkan reward yang bukan dalam arti materi, tapi kepuasan ketika bisa mengungkap apa yang salah di negeri ini. Itulah perubahan yang tidak bisa dibeli. Begitu pentingnya liputan investigatif, sehingga perlu banyak cara untuk membuat bagaimana wartawan mau melakukan liputan-liputan ini. [end]
Read More..
Monopoli Kepemilikan Lembaga Penyiaran Langgar UU
Ditulis oleh Khaerudin, Marcus Suprihadi KOMPAS.com Rabu, 19 Oktober 2011
JAKARTA, KOMPAS.com- Monopoli atau pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran di tangan satu badan usaha atau perseorangan tertentu dinilai melanggar Undang-Undang Penyiaran. Namun monopoli kepemilikan masih terus berjalan karena badan hukum atau perseorangan menafsirkan sepihak ketentuan kepemilikan yang diatur oleh UU Penyiaran tersebut, sehingga tetap bisa melanggengkan kepemilikan mereka yang monopolistik atas lembaga penyiaran.
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Selasa (18/10/2011), di Jakarta mengajukan gugatan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut Koordinator KIDP Eko Maryadi, pengajuan uji materi ini dilakukan menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum atau perseorangan terhadap Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No.32/2002 yang dinilai hanya menguntungkan sekelompok pemodal dan orang tertentu. Akibatnya, penafsiran sepihak terhadap dua pasal tersebut telah muncul pemusatan atau monopoli kepemilikan stasiun penyiaran televise dan radio di tangan segelintir pengusaha.
"Kami berpendapat bahwa penyiaran adalah suatu usaha yang mempergunakan ranah publik bernama frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, saat ini terjadi praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran," kata Eko.
Dia mencontohkan monopoli kepemilikan ini terjadi antara lain oleh PT Visi Media Asia Tbk yang memiliki ANTV dan TVOne, PT Elang Mahkota Teknologi yang mengusai Indosiar, SCTV dan O Channel, serta PT Media Nusantara Citra Tbk yang menguasi RCTI, Global TV dan MNC TV.
Menurut Eko, MK diminta menafsirkan secara tunggal Pasl 18 Ayat 1 UU Penyiaran, sehingga satu badan hukum atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggara jasa penyiaran televise yang berlokasi di satu provinsi.
Koalisi yang antara lain terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Aliansi Wartawan Radio, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, dan Pemantau Regulasi Regulator Media menilai MK berhak memberikan penafsiran atas sebuah ketentuan pasal UU agar berkesesuaian dengan nilai-nilai kontitusi.
Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR Paulus Widyatmo, UU Penyiaran sebenarnya dibuat untuk mengatur regulasi kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik.
"Kalau dimonopoli kepemilikannya, kami khawatir, bakal mengganggu arus informasi untuk publik dan pemilik lembaga penyiaran bakal memonopoli pendapat umum. Negara selama ini berkelit untuk bersikap tegas, dan seolah pasal-pasal ini multi tafsir," kata Paulus.
Read More..
JAKARTA, KOMPAS.com- Monopoli atau pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran di tangan satu badan usaha atau perseorangan tertentu dinilai melanggar Undang-Undang Penyiaran. Namun monopoli kepemilikan masih terus berjalan karena badan hukum atau perseorangan menafsirkan sepihak ketentuan kepemilikan yang diatur oleh UU Penyiaran tersebut, sehingga tetap bisa melanggengkan kepemilikan mereka yang monopolistik atas lembaga penyiaran.
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Selasa (18/10/2011), di Jakarta mengajukan gugatan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut Koordinator KIDP Eko Maryadi, pengajuan uji materi ini dilakukan menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum atau perseorangan terhadap Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No.32/2002 yang dinilai hanya menguntungkan sekelompok pemodal dan orang tertentu. Akibatnya, penafsiran sepihak terhadap dua pasal tersebut telah muncul pemusatan atau monopoli kepemilikan stasiun penyiaran televise dan radio di tangan segelintir pengusaha.
"Kami berpendapat bahwa penyiaran adalah suatu usaha yang mempergunakan ranah publik bernama frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, saat ini terjadi praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran," kata Eko.
Dia mencontohkan monopoli kepemilikan ini terjadi antara lain oleh PT Visi Media Asia Tbk yang memiliki ANTV dan TVOne, PT Elang Mahkota Teknologi yang mengusai Indosiar, SCTV dan O Channel, serta PT Media Nusantara Citra Tbk yang menguasi RCTI, Global TV dan MNC TV.
Menurut Eko, MK diminta menafsirkan secara tunggal Pasl 18 Ayat 1 UU Penyiaran, sehingga satu badan hukum atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggara jasa penyiaran televise yang berlokasi di satu provinsi.
Koalisi yang antara lain terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Aliansi Wartawan Radio, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, dan Pemantau Regulasi Regulator Media menilai MK berhak memberikan penafsiran atas sebuah ketentuan pasal UU agar berkesesuaian dengan nilai-nilai kontitusi.
Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR Paulus Widyatmo, UU Penyiaran sebenarnya dibuat untuk mengatur regulasi kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik.
"Kalau dimonopoli kepemilikannya, kami khawatir, bakal mengganggu arus informasi untuk publik dan pemilik lembaga penyiaran bakal memonopoli pendapat umum. Negara selama ini berkelit untuk bersikap tegas, dan seolah pasal-pasal ini multi tafsir," kata Paulus.
Read More..
LBH PERS PALEMBANG RESMI DIDEKLARASIKAN
Bertempat di aula SBB Universitas IBA (UIBA), Palembang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang menggelar Deklarasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Palembang.
Ketua AJI Palembang Imron Supriyadi menyatakan, deklarasi LBH Pers Palembang ini merupakan realisasi dari inisiatif AJI Palembang, untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja-pekerja pers di Kota Palembang, saat berhadapan dengan masalah hukum. Lebih jauh, pembentukan LBH Pers Palembang ini bertujuan untuk memajukan kehidupan pers di Sumsel.
“Paling tidak kita berupaya menjaga kemerdekaan pers. Mudah-mudahan LBH Pers Palembang ini dapat menjalankan fungsinya dalam proses advokasi,” pungkas Imron.(dedy sagita/sindo)
Read More..
AJI Temukan Temukan Gaji Jurnalis di Bawah UMK
Surabaya – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memiliki 29 cabang (AJI Kota) di Indonesia masih menemukan jurnalis yang digaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hingga Hari Buruh se-Dunia (Mayday) pada 1 Mei 2011.
“Pasal 185 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengancam perusahaan yang menggaji pekerjanya di bawah nilai UMK dengan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta dan atau sanksi pidana penjara minimal 1 tahun penjara dan maksimal 4 tahun penjara,” kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, Winuranto Adhi, dalam rilis yang diterima ANTARA Jawa Timur, Minggu.
Menurut dia, survei AJI di 16 kota pada Desember 2010-pertengahan Januari 2011 masih menemukan fakta adanya media yang menggaji jurnalis di bawah angka UMK, bahkan ada media yang tidak memberikan gaji sama sekali.
“Media semacam ini umumnya menyuruh jurnalisnya untuk mencari ‘gaji’ sendiri dengan berbagai macam cara, mulai mencari iklan, menjadi tenaga pemasaran, hingga menghalalkan untuk menerima pemberian atau imbalan dari narasumber,” katanya.
Senada dengan itu, Koordinator Divisi Perempuan AJI Indonesia, Rach Alida Bahaweres, mengatakan AJI juga masih menemukan adanya jurnalis perempuan yang memperoleh upah lebih kecil dibandingkan dengan jurnalis laki-laki.
Padahal, katanya, jika merujuk pada Deklarasi Hak Manusia yang dicanangkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama.“Itu berarti tak ada perbedaan jenis kelamin dalam perolehan kesejahteraan,” katanya.
Di beberapa perusahaan media, ada jurnalis perempuan yang tidak memperoleh penggantian biaya persalinan. Ada anggapan bahwa kantor suami yang bertanggung jawab atas pembayaran biaya persalinan tersebut.
“Padahal, tak semua kantor memberikan penggantian secara penuh atas biaya persalinan,” kata Alida.
Winuranto Adhi menambahkan AJI juga masih menemukan media yang tidak memberikan fasilitas asuransi bagi jurnalisnya.
“Tiadanya asuransi akan membuat jurnalis dan juga keluarganya tidak mendapatkan perlindungan secara sosial maupun finansial,” katanya. Oleh karena itu, AJI juga menyerukan kepada seluruh pekerja media di Indonesia untuk bersatu dalam serikat pekerja media yang kuat dan independen.
“Untuk menyuarakan tuntutan tersebut, cabang-cabang AJI di berbagai kota akan melakukannya dengan sejumlah cara, seperti dari menggelar aksi bersama kelompok buruh lain yang juga merayakan Hari Buruh Sedunia; menggelar diskusi atau talkshow; serta melakukan konferensi pers dan membuat pernyataan sikap,” katanya.
Ia menilai serikat pekerja media itu penting karena masalah krusial jurnalis, selain kesejahteraan, adalah tingginya kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat Dewan Pers mencapai 66 kasus pada tahun lalu (2010).
“Dalam catatan AJI Indonesia, kekerasan jurnalis meliputi perusakan kantor media, pengusiran dan larangan melakukan peliputan, tekanan melalui hukum, ancaman dan teror, perusakan alat liputan, demonstrasi dan pengerahan massa, serta pembunuhan,” katanya.
Ironisnya, kata Ketua Umum AJI Indonesia, Nezar Patria, hanya sebagian kecil kasus kekerasan yang berhasil diusut secara tuntas.
Contohnya, kasus kematian jurnalis Adriansyah Qomar Wibisono Matrais di Merauke dan Alfret Mirulewan, pemimpin redaksi Mingguan Pelangi, di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya belum mampu diungkap.
“Publik justru dikejutkan dengan putusan majelis hakimPengadilan Negeri Tual, 9 Maret lalu, yang membebaskan ketiga terdakwa atas kasus tewasnya Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual,” katanya.
Selain itu, aparat penegak hukum juga belum mampu mengungkap pelaku penusukan terhadap Banjir Ambarita, jurnalis freelancer di Papua, beberapa waktu lalu.
“Impunitas atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab utama meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. Maraknya kasus kekerasan juga menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap jurnalis,” katanya. (ant/raf)
Read More..
PWI Sumsel: Tangkap Pelaku Penganiayaan Terhadap Wartawan Media Rakyat
AJI Online – PWI Sumsel mendesak Polresta Palembang untuk segera menangkap oknum preman yang melakukan penganiayaan terhadap wartawan Mingguan Media Rakyat di rumah makan Bu Henny Jl. Brigjen Dhani Effendi (Jl Radial) Palembang pada Selasa malam (05/07/2011).
Menurut ketua PWI Sumsel, Oktaf Riady, penganiayaan ini ada hubungannya dengan pemberitaan Media Rakyat yang terbit sehari sebelum penganiayaan Senin (4/7/2011), berjudul Bank Sumsel Babel Segel Asset PT Iki (Istana Kenten Indah). Namun, menurut Oktaf tidak ada yang berkaitan soal premanisme
Akibat penganiayaan ini, empat dari enam wartawan Media Rakyat harus dirawat di Rumah Sakit Muhammad Husein Palembang, yakni
- Pemimpin Umum Media Rakyat, Asriel Chaniago, mengalami luka tusuk di bagian pinggang
- Pemimpin Redaksi Rakyat, Herma S Zaldi, mengalami luka bacok di bagian tangan kiri
- Redaktur Pelaksana, Akmal Kudus, mengalami luka bacok di kepala
- Syiful Bachri, mengalami luka tusuk di dada dan tangan
Sementara dua wartawan lainnya Reza Bastari (wartawan) dan Nasrullah (layout), mengalami luka memar.
“Selain menangkap para preman, kami meminta pihak kepolisian juga mengejar atau menangkap otak pelaku penganiayaan tersebut,” tegas Oktaf saat aksi wartawan di kantor Polresta Palembang, Kamis (07/07/2011).
Pihak Polresta melalui Kasat Reskrim Polresta Palembang, Kompol Frido Situmorang. SH.Sik. mengatakan. “Pada saat kejadian kami telah mengecek TKP, dan kami telah mengantongi beberapa nama pelaku penganiayaan tersebut, dan kami telah melakukan pengejaran terhadap pelaku, berdasarkan instruksi Kapolresta Palembang kami telah membentuk TIM khusus untuk melakukan pengejaran dan akan melakukan penangkapan” ujarnya
“Saat ini kami belum dapat mengatakan apakah ada otak pelaku di belakang penganiayaan terhadap wartawan Media Rakyat. Nanti kalau sudah ada penangkapan terhadap pelaku penganiayaan barulah kita akan mengusut otak pelakunya, dan kami akan secara terbuka memberikan informasi kepada wartawan tentang hal ini,” tambahnya.
Seusai berdialog kepada Kasat Reskrim Polresta Palembang, para wartawan menuju kantor DPRD Kota Palembang untuk meminta dukungan terhadap perlawanan terhadap premanisme dan meminta DPRD kota Palembang agar mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini.
Wakil Ketua DPRD Kota Palembang, Fahlevi Maizano, didampingi beberapa anggota Komisi I menyatakan, “Kami mendukung penuh perlawanan terhadap premanisme bahkan kami menyatakan perang terhadap premanisme dan mengutuk keras terhadap oknum preman yang melakukan penganiayaan terhadap wartawan media rakyat.”
“Mengenai ini akan kami bawah menjadi agenda rapat untuk kami bahas, dan kami akan mendesak pihak kepolisian untuk mengungkap tuntas kasus ini,” kata Fahlevi. [*] (iir/dpt/aji)
Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang. Diberdayakan oleh Blogger.